This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Minggu, 29 April 2012

Kesehatan Menurut Pandangan Islam


Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara: Agama, Jiwa, Akal, Jasmani, Harta, dan Keturunan.
Setidaknya tiga dari yang disebut di atas berkaitan dengan
kesehatan. Tidak heran jika ditemukan bahwa Islam amat kaya
dengan tuntunan kesehatan.
Paling tidak ada dua istilah literatur keagamaan yang
digunakan untuk menunjuk tentang pentingnya kesehatan dalam
pandangan Islam.
1. Kesehatan, yang terambil dari kata sehat;
2. Afiat.
Keduanya dalam bahasa Indonesia, sering menjadi kata majemuk
sehat afiat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesra, kata “afiat”
dipersamakan dengan “sehat”. Afiat diartikan sehat dan kuat,
sedangkan sehat (sendiri) antara lain diartikan sebagai
keadaan baik segenap badan serta bagian-bagiannya (bebas dari
sakit).
Tentu pengertian kebahasaan ini berbeda dengan pengertian
dalam tinjauan ilmu kesehatan, yang memperkenalkan
istilah-istilah kesehatan fisik, kesehatan mental, dan
kesehatan masyarakat.
Walaupun Islam mengenal hal-hal tersebut, namun sejak dini
perlu digarisbawahi satu hal pokok berkaitan dengan kesehatan,
yaitu melalui pengertian yang dikandung oleh kata afiat.
Istilah sehat dan afiat masing-masing digunakan untuk makna
yang berbeda, kendati diakui tidak jarang hanya disebut salah
satunya (secara berdiri sendiri), karena masing-masing kata
tersebut dapat mewakili makna yang dikandung oleh kata yang
tidak disebut.
Pakar bahasa Al-Quran dapat memahami dari ungkapan sehat
wal-afiat bahwa kata sehat berbeda dengan kata afiat, karena
wa yang berarti “dan” adalah kata penghubung yang sekaligus
menunjukkan adanya perbedaan antara yang disebut pertama
(sehat) dan yang disebut kedua (afiat). Nah, atas dasar itu,
dipahami adanya perbedaan makna di antara keduanya.
Dalam literatur keagamaan, bahkan dalam hadis-hadis Nabi Saw.
ditemukan sekian banyak doa, yang mengandung permohonan afiat,
di samping permohonan memperoleh sehat.
Dalam kamus bahasa Arab, kata afiat diartikan sebagai
perlindungan Allah untuk hamba-Nya dari segala macam bencana
dan tipu daya. Perlindungan itu tentunya tidak dapat diperoleh
secara sempurna kecuali bagi mereka yang mengindahkan
petunjuk-petunjuk-Nya. Maka kata afiat dapat diartikan sebagai
berfungsinya anggota tubuh manusia sesuai dengan tujuan
penciptaannya.
Kalau sehat diartikan sebagai keadaan baik bagi segenap
anggota badan, maka agaknya dapat dikatakan bahwa mata yang
sehat adalah mata yang dapat melihat maupun membaca tanpa
menggunakan kacamata. Tetapi, mata yang afiat adalah yang
dapat melihat dan membaca objek-objek yang bermanfaat serta
mengalihkan pandangan dari objek-objek yang terlarang, karena
itulah fungsi yang diharapkan dari penciptaan mata.

KESEHATAN FISIK
Telah disinggung bahwa dalam tinjauan ilmu kesehatan dikenal
berbagai jenis kesehatan, yang diakui pula oleh pakar-pakar
Islam.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, dalam Musyawarah Nasional Ulama tahun 1983 merumuskan kesehatan sebagai “ketahanan jasmaniah, ruhaniah, dan sosial yang dimiliki
manusia, sebagai karunia Allah yang wajib disyukuri dengan
mengamalkan (tuntunan-Nya), dan memelihara serta mengembangkannya.”


Memang banyak sekali tuntunan agama yang merujuk kepada ketiga
jenis kesehatan itu.
Dalam konteks kesehatan fisik, misalnya ditemukan sabda Nabi
Muhammad Saw.:
Sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu.
Demikian Nabi Saw. menegur beberapa sahabatnya yang bermaksud
melampaui batas beribadah, sehingga kebutuhan jasmaniahnya
terabaikan dan kesehatannya terganggu.
Pembicaraan literatur keagamaan tentang kesehatan fisik,
dimulai dengan meletakkan prinsip:
Pencegahan lebih baik daripada pengobatan.
Karena itu dalam konteks kesehatan ditemukan sekian banyak
petunjuk Kitab Suci dan Sunah Nabi Saw. yang pada dasarnya
mengarah pada upaya pencegahan.
Salah satu sifat manusia yang secara tegas dicintai Allah
adalah orang yang menjaga kebersihan. Kebersihan digandengkan
dengan taubat dalam surat Al-Baqarah (2): 222:
Sesungguhnya Allah senang kepada orang yang bertobat,
dan senang kepada orang yang membersihkan diri.
Tobat menghasilkan kesehatan mental, sedangkan kebersihan
lahiriah menghasilkan kesehatan fisik.
Wahyu kedua (atau ketiga) yang diterima Nabi Muhammad Saw.
adalah:
Dan bersihkan pakaianmu dan tinggalkan segala macam
kekotoran (QS Al-Muddatstsir [74]: 4-5).
Perintah tersebut berbarengan dengan perintah menyampaikan
ajaran agama dan membesarkan nama Allah Swt.
Terdapat hadis yang amat populer tentang kebersihan yang
berbunyi:
Kebersihan adalah bagian dari iman.
Hadis ini dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadis dha’if.
Kendati begitu, terdapat sekian banyak hadis lain yang
mendukung makna tersebut, seperti sabda Nabi Saw.:
Iman, terdiri dan tujuh puluh sekian cabang, puncaknya
adalah keyakinan bahwa “Tiada Tuhan selain Allah, dan
yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dan jalan”
(HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Perintah menutup hidangan, mencuci tangan sebelum makan,
bersikat gigi, larangan bernafas sambil minum, tidak kencing
atau buang air di tempat yang tidak mengalir atau di bawah
pohon, adalah contoh-contoh praktis dari sekian banyak
tuntunan Islam dalam konteks menjaga kesehatan. Bahkan sebelum
dunia mengenal karantina, Nabi Muhammad Saw. telah menetapkan
dalam salah satu sabdanya,
Apabila kalian mendengar adanya wabah di suatu daerah,
janganlah mengunjungi daerah itu, tetapi apabila kalian
berada di daerah itu, janganlah meninggalkannya.
Ditemukan juga peringatan bahwa perut merupakan sumber utama
penyakit: Al-ma’idat bait adda’. Dan karena itu, ditemukan
banyak sekali tuntutan –baik dari Al-Quran maupun hadis Nabi
Saw. yang berkaitan dengan makanan, jenis maupun kadarnya.
Al-Quran juga mengingatkan, Makan dan minum dan jangan
berlebih-lebihan. Allah tidak senang kepada orang yang
berlebih-lebihan (QS Al-A’raf [7]: 31).
Penjabaran peringatan itu dijelaskan oleh Rasulullah Saw.
dengan sabdanya,
Tidak ada sesuatu yang dipenuhkan oleh putra putri Adam
lebih buruk daripada perut. Cukuplah bagi putra Adam
beberapa suap yang dapat menegakkan tubuhnya. Kalaupun
harus dipenuhkan, maka sepertiga untuk makanannya,
seperti lagi untuk minumannya, dan sepertiga sisanya
untuk pernafasannya (Diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi).
Perlu pula digarisbawahi bahwa sebagian pakar, baik agamawan
maupun ilmuwan, berpendapat bahwa jenis makanan dapat
mempengaruhi mental manusia. Al-Harali (wafat 1232 M)
menyimpulkan hal tersebut setelah membaca firman Allah yang
mengharamkan makanan dan minuman tertentu karena makanan dan
minuman tersebut rijs.
Kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang
mengalir, atau daging babi, karena sesungguhnya semua
itu kotor (QS Al-An’am [6]: 145).
Kata rijs diartikan sebagai keburukan budi pekerti atau
kebobrokan mental. Pendapat serupa dikemukakan antara lain
oleh seorang ulama kontemporer Syaikh Taqi Falsaf1 dalam
bukunya Child between Heredity and Education, yang mengutip
pendapat Alexis Carrel dalam bukunya Man the Unknown. Carrel,
peraih hadiah Nobe1 bidang kedokteren ini, menulis bahwa
pengaruh campuran kimiawi yang dikandung oleh makanan terhadap
aktivitas jiwa dan pikiran manusia belum diketahui secara
sempurna, karena belum diadakan eksperimen dalam waktu yang
memadai. Namun tidak dapat diragukan bahwa perasaan manusia
dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas makanan.
Para ulama sering mengaitkan penyakit dengan siksa Allah.
Al-Biqa’i dalam tafsirnya mengenai surah Al-Fatihah
mengemukakan sabda Nabi Saw.,
Penyakit adalah cambuk Tuhan di bumi ini, dengannya Dia
mendidik hamba-hamba-Nya.
Pendapat ini didukung oleh kandungan pengertian takwa yang
pada dasarnya berarti menghindar dari siksa Allah di dunia dan
di akhirat. Siksa Allah di dunia, adalah akibat pelanggaran
terhadap hukum-hukum alam. Hukum alam antara lain membuktikan
bahwa makanan yang kotor mengakibatkan penyakit. Seorang yang
makan makanan kotor pada hakikatnya melanggar perintah Tuhan,
sehingga penyakit merupakan siksa-Nya di dunia yang harus
dihindari oleh orang yang bertakwa.
Dari sini dapat dimengerti bahwa Islam memerintahkan agar
berobat pada saat ditimpa penyakit.
Berobatlah, karena tiada satu penyakit yang diturunkan
Allah, kecuali diturunkan pula obat penangkalnya,
selain dari satu penyakit, yaitu ketuaan (HR Abu Daud
dan At-Tirmidzi dari sahabat Nabi Usamah bin Syuraik).
Bahkan seandainya tidak ada perintah rinci dari hadis tentang
keharusan berobat, maka prinsip- prinsip pokok yang diangkat
dari Al-Quran dan hadis cukup untuk dijadikan dasar dalam
upaya kesehatan dan pengobatan. Sebagai contoh dapat
dikemukakan persoalan transplantasi, baik dari donor hidup
maupun donor yang telah meninggal dunia. Beberapa prinsip dan
kesepakatan dalam bidang hukum agama yang berkaitan dengan
topik bahasan ini dapat membantu menemukan pandangan Islam
dalam persoalan dimaksud. Prinsip-prinsip dimaksud antara 1ain
adalah:
1. Agama Islam bertujuan memelihara agama, jiwa, akal,
kesehatan, dan harta benda umat manusia.
2. Anggota badan dan jiwa manusia merupakan milik Allah
yang dianugerahkan-Nya untuk dimanfaatkan, bukan untuk
disalahgunakan atau diperjualbelikan.
3. Penghormatan dan hak-hak asasi yang
dianugerahkan-Nya mencakup seluruh manusia, tanpa
membedakan ras atau agama.
4. Terlarang merendahkan derajat manusia, baik yang
hidup, maupun yang telah wafat.
5. Jika bertentangan kepentingan antara orang yang
hidup dan orang yang telah wafat, maka dahulukanlah
kepentingan orang yang hidup.
Dari prinsip-prinsip ini banyak ulama kontemporer menetapkan
bahwa transplantasi dapat dibenarkan selama tidak
diperjualbelikan, dan selama kehormatan manusia yang hidup
maupun yang mati terjaga sepenuhnya. Salah satu jaminan
tidak adanya pelecehan adalah izin dan pihak keluarga.
Alasan penolakan yang sering terdengar dari kalangan orang
kebanyakan (awam) bahwa setelah si penerima donor sehat, ia
mungkin dapat menyalahqunakan kesehatannya, dan ini dapat
mengakibatkan dosa, terutama bagi “pemilik” organ (jenazah),
atau orang yang mengizinkan. Alasan ini, pada hakikatnya tidak
sepenuhnya dapat diterima. Kemurahan dan keadilan Tuhan
mengantar-Nya untuk tidak menuntut pertanggungl.awaban dari
seseorang terhadap sesuatu yang tidak dikerjakannya secara
sadar, karena hakikat manusia bukan organ dan jasmaninya:
Allah tidak memandang kepada jasad dan rupa kamu,
tetapi memandang hati dan perbuatan kamu.
Demikian sabda Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan oleh
Muslim. Di samping itu, izin yang diharuskan itu, telah dapat
mengurangi kalau enggan berkata “menghilangkan” kekhawatiran
di atas. Kalau niat pemberi izin untuk membantu sesama
manusia, dan dia menduga keras bahwa bantuan tersebut tidak
akan disalahgunakan, maka kalaupun ternyata dugaannya keliru,
maka ia bebas dari dosa. Sebaliknya, jika yang memberi izin
sudah menduga keras akan terjadinya penyalahgunaan, maka tentu
saja ia tidak terbebaskan dari dosa. Di sini terlihat pula
peranan izin.
Dapat ditambahkan bahwa Al-Quran menegaskan bahwa, “Barang
siapa yang menghidupkan seseorang, maka dia bagaikan
menghidupkan manusia semuanya…” (QS Al-Maidah [5): 32).
"Menghidupkan" di sini bukan saja yang berarti "memelihara
kehidupan", tetapi juga dapat mencakup upaya "memperpanjang
harapan hidup" dengan cara apa pun yang tidak melanggar hukum.
Demikian, satu contoh, bagaimana ayat-ayat Al-Quran dipahami
dalam konteks peristiwa paling mutakhir dalam bidang
kesehatan.
Namun dalam ajaran Islam juga ditekankan bahwa obat dan upaya
hanyalah "sebab", sedangkan penyebab sesungguhnya di balik
sebab atau upaya itu adalah Allah Swt., seperti ucapan Nabi
Ibrahim a.s. yang diabadikan Al-Quran dalam surat Al-Syu'ara'
(26): 80'
Apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuhkan
aku.

KESEHATAN MENTAL
Nabi Saw. juga mengisyaratkan bahwa ada keluhan fisik yang
terjadi karena gangguan mental. Seseorang datang mengeluhkan
penyakit perut yang diderita saudaranya setelah diberi obat
berkali-kali, tetapi tidak kunjung sembuh dinyatakan oleh Nabi
Saw. bahwa, "Perut saudaramu berbohong" (HR Bukhari).
Al-Quran Al-Karim memang banyak berbicara tentang penyakit
jiwa. Mereka yang lemah iman dinilai oleh Al-Quran sebagai
orang yang memiliki penyakit di dalam dadanya.
Dari hadis-hadis Nabi diperoleh petunjuk, bahwa sebagian
kompleks kejiwaan tercipta pada saat janin masih berada di
perut ibu, atau bahkan pada saat hubungan seks (pertemuan
sperma dan ovum), demikian juga ketika bayi masih dalam
buaian.
Karena itu, Islam memerintahkan kepada para ibu dan bapak agar
menciptakan suasana tenang, dan mengamalkan ajaran agama pada
saat bayi berada dalam kandungan, sebagaimana memerintahkan
kepada para orang-tua untuk memperlakukan anak-anak mereka
secara wajar.
Dalam suatu riwayat diungkapkan ada seorang anak yang sedang
digendong, kemudian pipis membasahi pakaian Nabi. Ibunya
merenggut bayi tersebut dengan kasar. Namun Nabi menegurnya
dengan bersabda,
Jangan hentikan pipisnya, jangan renggut dia dengan
kasar. Pakaian ini dapat dibersihkan dengan air, tetapi
apa yang dapat menjernihkan hati sang anak (yang engkau
renggut dengan kasar)?
Seperti diungkapkan oleh beberapa pakar ilmu jiwa, sebagian
kompleks kejiwaan yang diderita orang dewasa, dapat diketahui
penyebab utamanya pada perlakuan yang diterimanya sebelum
dewasa.
Agaknya kita dapat menyimpulkan bahwa pandangan Islam tentang
penyakit-penyakit mental mencakup banyak hal, yang boleh jadi
tidak dijangkau oleh pandangan ilmu kesehatan modern.
Dalam Al-Quran tidak kurang sebelas kali disebut istilah fi
qulubihim maradh,
Kata qalb atau qulub dipahami dalam dua makna, yaitu akal dan
hati. Sedang kata maradh biasa diartikan sebagai penyakit.
Secara rinci pakar bahasa Ibnu Faris mendefinisikan kata
tersebut sebagai "segala sesuatu yang mengakibatkan manusia
melampaui batas keseimbangan/kewajaran dan mengantar kepada
terganggunya fisik, mental, bahkan kepada tidak sempurnanya
amal seseorang."
Terlampauinya batas kesimbangan tersebut dapat berbentuk gerak
ke arah berlebihan, dan dapat pula ke arah kekurangan.
Dari sini dapat dikatakan bahwa Al-Quran memperkenalkan adanya
penyakit-penyakit yang menimpa hati dan yang menimpa akal.
Penyakit-penyakit akal yang disebabkan bentuk berlebihan
adalah semacam kelicikan, sedangkan yang bentuknya karena
kekurangan adalah ketidaktahuan akibat kurangnya pendidikan.
Ketidaktahuan ini dapat bersifat tunggal maupun ganda.
Seseorang yang tidak tahu serta tidak menyadari
ketidaktahuannya pada hakikatnya menderita penyakit akal
berganda.
Penyakit akal berupa ketidaktahuan mengantarkan penderitanya
pada keraguan dan kebimbangan.
Penyakit-penyakit kejiwaan pun beraneka ragam dan
bertingkat-tingkat. Sikap angkuh, benci, dendam, fanatisme,
loba, dan kikir yang antara lain disebabkan karena bentuk
keberlebihan seseorang. Sedangkan rasa takut, cemas,
pesimisme, rendah diri dan lain-lain adalah karena
kekurangannya.
Yang akan memperoleh keberuntungan di hari kemudian adalah
mereka yang terbebas dari penyakit-penyakit tersebut, seperti
bunyi firman Allah dalam surat Al-Syu'ara' (26): 88-89:
Pada hari (akhirat) harta dan anak-anak tidak berguna
(tetapi yang berguna tiada lain) kecuali yang datang
kepada Allah dengan hati yang sehat.
Islam mendorong manusia agar memiliki kalbu yang sehat dari
segala macam penyakit dengan jalan bertobat, dan mendekatkan
diri kepada Tuhan, karena:
Sesungguhnya dengan mengingat Allah jiwa akan
memperoleh ketenangan (QS Al-Ra'd [13]: 28).
Itulah sebagian tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi Saw. tentang
kesehatan.


—————-
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038

Sabtu, 28 April 2012

Wanita Berjilbab


Beberapa hari lalu, aku mendapat sebuah pencerahan.
                Hari itu, seperti biasa, setelah makan siang, aku dan seluruh siswa di sekolah pergi ke saung untuk melaksanakan tausiyah dan dilanjutkan dengan sholat Dhuhur berjamaah. Tausiyah dibuat berkelompok dengan satu pembimbing . Setiap anggota akan mendapat kesempatan untuk menyampaikan tausiyah mereka.
                Hari itu, seorang adik kelasku mendapat giliran. Dari segi materinya, sudah cukup menarik. Tapi, mungkin yang harus diperbaiki adalah bagaimana dia menyampaikan materi tersebut. Materinya tentang ‘Berjilbab’. Dia mengambil materi itu dari sebuah buku berwarna merah muda berjudul ‘Engkau Lebih Cantik dengan Jilbab’. That’s why, aku tiba- tiba menulis ini.
***
                Nyaris semua orang Indonesia tahu tentang jilbab. Khususnya bagi mereka yang muslim. Di luar negeri  ada yang disebut burqa dan niqab. Tapi, itu semua jarang digunakan di Indonesia.
                Seorang muslimah sangat identik dengan jilbab. Mungkin, tanpa jilbab mereka tak akan berjuluk muslimah. Tapi, mengapa masih saja ada wanita muslim yang tak mengenakan jilbab dalam kehidupan sehari- harinya. Mulai pagi sampai malam, tiap keluar rumah menggunakan celana ketat dengan T- shirt. Paling- paling dia baru memasang jilbabnya ketika menghadiri undangan di tetangga sebelah untuk khataman Al Qur’an. Padahal di KTP mereka, mereka adalah beragama islam.
                Nah, kalau membahasa masalah tersebut, itu tentang kesadaran diri sendiri. Kalau memang dirinya adalah seorang wanita muslim yang taat beragama, pasti dia akan rajin membaca Al- Qur’an dan memahaminya. Sudah jelas, pada surat An- Nur ayat 31;
“… Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat…”
                Jadi, berjilbab yang benar adalah menutupi dada. Iya, rambut nggak terlihat, tapi jilbabnya Cuma sekerah baju. Percuma,Sist. Coba dilogika, ya. Apa sih susahnya memanjangkan rok, melonggarkan baju, memanjangkan lengan, dan berkerudung dengan benar? Panas? Risih? Sumpek? Yee… Itu memang hal biasa kalau dia awal.
                Panasnya udara masih bisa ditangani. Sedia saja kipas di tas, atau kalau cukup di saku. Masih belum puas? Ya pepetkan saja dirimu ke kipas angin. Masih belum puas juga? Masih ada jalan kok, Sist. Nyalakan saja AC. Pasti bakal lebih dingin. “Lha kalo’ nggak ada AC di rumah?” Yah, masih bisa diatasi tuh. Pergi aja ke mini market terdekat. Ada AC-nya kok. Hehehe… Lumayan, kan idenya. Lho, iya. Beneran! Dari pada nanti ngerasakan panasnya api neraka. Pasti bakalan panas, bisa- bisa jauh lebih lebih lebih lebih (entah berapa kata ‘lebih’ yang harus ditambah) PANAS.
                Teteh, Mbak, Ukhti, Sist, dan seluruh muslimah, khususnya di Indonesia. Sekarang kita sudah nyaman berjilbab. Coba kalo pas jamannya Pak Harto. Berjilbab saja sudah dicurigai. Padahal kita itu mau menutup aurat, seperti yang Allah perintahkan.
                Mungkin ada yang masih pikir- pikir mau berjilbab. “Lho, nanti aku nggak keliatan cantik lagi. Nggak ada cowok yang kepincut sama kecantikanku?”. Nah, ini nih yang musti diubah. Itu cara berpikir yang salah. Sangat SALAH!. Beneran, lho. Aku pernah lihat di facebook, seorang lelaki (dia masih kawanku) menulis bahwa dia lebih suka wanita dengan jilbab daripada yang tak berjilbab. Aku pun juga pernah coba tanya pada beberapa laki- laki, semua jawabannya nyaris sama. Mereka lebih tertarik dengan perempuan berjilbab. Mereka yang berjilbab akan terlihat anggun, lembut, dan rapi. Laki- laki juga akan lebih menghormati perempuan yang berjilbab, karena mereka yang berjilbab lillahi ta’ala akan benar- benar menjunjung tinggi akhlaq baik. Laki- laki juga akan segera berhenti menggodanya, karena seorang yang beragama kuat takkan menggubrisnya.
                Kemudian, apa sih ruginya? Toh, kalau tidak dicintai kaum adam, Allah masih memuliakan. Ya, kan? Bukankah cinta dari Allah lebih berharga dan abadi. Lalu, kenapa masih ragu- ragu?
                Oh ya, penilaian tingkah laku seseorang akan dilihat dari kata- kata dan caranya berpakaian. Kalau cara berpakaian mereka sopan, maka orang lain akan menilai mereka sebagai seorang yang baik, kalem, dan sopan. Berlainan dengan mereka yang setia dengan baju yang tak menutupi perut, bahkan dada pun sedikit terlihat. Pasti banyak orang beranggapan bahwa mereka adalah orang yang kasar, arogan, semaunya sendiri, dan sering bikin ulah.
                Jadi, ayo pada berjilbab, ya! Nah, yang sudah berjilbab, coba tata niat lagi. Mungkin berjilbabmu masih karena paksaan ortu atau karena peraturan sekolah. Perbaiki niat. Niatkan, berjilbabmu karena Allah.  Selamat berjilbab, Ukhti… May Allah always bless us and show us the right way. Amin…

Ditulis oleh: Nabila Fiddin

Jumat, 27 April 2012

Sebuah Catatan Tentang Kerja Tim


Di sini aku duduk, di mana aku mulai merasa cemas, gundah, dan entah ada satu rasa yang menusuk dan indescribable. Sesekali aku mendongakkan kepalaku, menatap langit-langit, bernafas panjang, dan menahan air mataku meleleh. Memoriku melayang…
                Tahun pertamaku di sekolah menengah terasa lancar. Aku dan kawan-kawanku dibimbing oleh seorang wali kelas yang disiplin dan tahu apa yang harus beliau lakukan. Beliau mencoba member contoh terbaik untuk kami. Disiplin yang utama.
                Tahun kedua, empat temanku pergi. Kami masih bersama wali kelas yang sama. Di sini kami diajari penuh bagaimana mengelola sebuah organisasi, bagaimana bersosialisasi yang benar dan baik. Tahun itu, OSIS didominasi oleh angkatan kami, termasuk aku. Aku sadar, tiap-tiap pengurus OSIS harus paham satu sama lain dan harus kompak. Tapi jujur saja, karena mungkin kekurang sukaanku pada formasi OSIS tahun itu, aku agak sulit dan sering kontra. Tapi di bawah bimbingan baik dari wali kelas kami yang juga Pembina OSIS, kami sebagai OSIS angkatan ketiga, adalah OSIS terbaik dibanding sebelumnya.
                Kubetulkan posisi dudukku. Kembali kuhadapi facebook.
Seorang adik kelasku membahas sebuah pertandingan bola. Aku dan dia berbeda. Dia menjagokan sebuah klub, dan sebut saja klub A dan C, sedangkan aku menjagokan klub B. Di partai semi final, klub B gagal lolos ke final, dan tak bisa mempertahankan gelarnya. Dia langsung men-share status yang pedas. Keesokan harinya, klub C juga gagal lolos ke final. Tapi dia tak menulis apa-apa. Baru beberapa hari kemudian, aku membacanya, dan mengomentarinya dengan emosi. Harusnya seorang supporter tidak rasis, mereka harus respek dan tidak sombong. Di kolom comment, aku member komentar pedas dan penuh emosi. Kujelaskan bahwa klub A sudah dua kali kalah di final Liga Champion di tangan club B. Dan itu suatu limpahan emosiku. Aku tahu itu berlebihan, tapi aku tak bisa membendungnya.
Kualihkan pandanganku. Aku berpikir sejenak, mencerna balasan comment dari adik kelasku itu. Dia menulis tentang strategi… Ya, strategi permainan. Aku sadar. Saat ini juga, sesuatu mendobrak hatiku. Tim akan lebih hebat dengan strategi yang benar, dan loyalitas.
  Sepak bola mengajariku tentang kerja tim yang hebat. Ini mengajariku tentang pentingnya satu detik. Ini mengajariku bagaimana mendapatkan peluang dalam suatu kesulitan. Ini mengajariku agar lebih terbuka dan care pada anggota kelompok yang lain. Ini mengajariku bagaimana harus bersikap dalam suatu persaingan; junjung sportifitas.  
  “Kemenangan sejati adalah yang diawali dengan perjuangan tanpa henti”
Kubetulkan posisi NBku. Sejenak aku berpikir, dan muncullah suatu keinginan besar..
  Aku ingin ‘The Leader’ menjadi sebuah tim yang hebat. Layaknya klub sepak bola yang dengan gigih akan berkerja keras merebut trofi. Walau harus tersungkur, berkeringat, dan menahan emosi dengan sangat, tapi berakhir dengan senyuman puas, pelukan kebahagiaan, dan tetesan air mata haru.
Andai saja aku benar-benar mempelajari sepak bola sejak tahun keduaku di SMP, mungkin aku akan lebih paham tentang OSIS… Aku ingin tetap berorganisasi kelak. Menerapkan ajaran yang pernah kudapat dari teamwork klub sepak bola.
Aku kembali menatap layar NBku. Pukul setengah enam petang. Sejam lagi sebuah keputusan seorang coach dari sebuah klub akan di-pers-kan. Apakah ia akan melanjutkan kariernya di klub itu lagi, atau berhenti sejak ketik berhasilannya membawa klub hebat itu ke final Liga Champion… Aku berharap, semoga coach itu tetap memperpanjang kontraknya.
Ya, seorang pembimbing yang setia, mati-matian, dan sangat loyal memang sangat berperan dalam kesuksesan kelompok. Kepergiannya sungguh menjadi sebuah petaka bagi anggotanya. Tangis dan sedihnya menjadi sebuah teguran bagi anggotanya. Senyumnya adalah motivasi bagi anggotanya. Dan teriakan semangatnya adalah seruan terindah bagi anggotanya.

Sekarang, aku berjanji pada diriku. Akan kutangkap semua hikmah dari sekitarku, dan aku harus menjadi anggota kelompok yang baik, dan jika aku memimpin, aku harus menjadi pemimpin yang adil dan bijak.

BAGAIMANA DENGAN ANDA? SIAPKAH ANDA MEMAHAMI TEAMWORK DAN AKAN SELALU MEMBERIKAN YANG TERBAIK UNTUK TIM ANDA? APAPUN JAWABAN HATI ANDA, ANDA MEMANG HARUS MENJADI ANGGOTA MAUPUN PEMIMPIN YANG BAIK, KARENA ANDA TAK AKAN LEPAS DARI SEBUAH KELOMPOK.

Posted by: Nabila Fiddin

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites